"Tanda Tanya"- Masih Pentingkah Kita Berbeda?
Film ini adalah sebuah film yang dirillis pada 7 April 2011 dengan disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan dibintangi oleh Reza Rahadian dan Revalina S. Temat.
Film ini mengangkat sebuah tema pluralisme agama yang sering terjadi antar keyakinan beragama, yang dituangkan dalam sebuah alur cerita yang berkisar pada interaksi dari tiga keluarga, yaitu satu Buddha, satu Islam, dan satu Katolik. Setelah mengalami banyak kesulitan dan kematian beberapa anggota keluarga dalam kekerasan agama, sehingga mereka mampu untuk hidup berdamai antara satu dengan yang lainnya.
Singkat cerita, film ini mengisahkan konflik keluarga dan pertemanan yang terjadi disebuah area di dekat Pasar Baru, dimana di area itu terdapat Masjid, Gereja dan Klenteng yang letaknya tidak berjauhan, dan para penganutnya memiliki hubungan satu sama lain. Dikisahkan bahwa terdapat tiga keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Keluarga Tan Kat Sun memiliki restaurant masakan Cina yang tidak halal. Keluarga Soleh, dengan masalah Soleh sebagai kepala keluarga yang tidak bekerja namin memiliki istri yang cantik dan soleha. Sedangkan, keluarga Rika, merupakan seseorang janda dengan seorang anak yang berhubungan dengan Surya, pemuda yang belum pernah menikah. Hubungan antara keluarga ini dalam kaitannya dengan masalah perbedaan pandangan, status, agama, ras, budaya, dan suku.
Review
Secara singkat kesan yang bisa dipetik dari film [?] ini ingin mengangkat proses pluralisme yang sering terjadi sehari-hari di Indonesia. Hanung harus diakui sebagai seorang sutradara muda yang cukup berani mengemas ide. Sebagai contoh, di awal film kita disuguhkan alur cerita yang terkesan disingkat dengan kehadiran tokoh Rika yang memilih jalan hidupnya untuk murtad sebagai muslimah ketika konflik rumah tangganya terjadi akibat si suami berpoligami. Terdapat dialog ketika Rika menjawab dengan emosi tinggi kepada lawan mainnya, Surya. “Aku cerai dari Mas Panji bukan karena menghianati kesucian pernikahan dan aku pindah agama bukan karena menghianati Tuhan!”. Dialog seperti ini kiranya cukup menarik karena tentunya akan mengundang banyak penafsiran, seakan-akan sebagai sebuah pembenaran dalam suatu sikap pilihan hidup.
Contoh lain misalnya, ketika Rika memulai menjalani hidupnya dengan agama barunya, Katholik. Dalam sebuah kesempatan kebaktian di gereja, Romo Gereja memberikan secarik kertas kepada seluruh jemaatnya untuk menuliskan, “ Apa arti Tuhan buat dirimu?”. Bisa dibayangkan, seseorang yang baru berpindah agama tentunya belum memiliki konsep ke-Tuhanan seperti yang sesuai dengan agama barunya. Sekali lagi, film ini juga berani menampilkan keberanian ‘apa adanya’ yang mungkin saja benar-benar terjadi. Rika, dalam kertasnya yang dibacakan Romo menjawab, “ Tuhan itu adalah Allah. Ia Ar-Rahman, Maha Pengasih. Ar-Rahiim, Maha Penyayang, Al-Quddus, Maha Suci,….”. Kita dibuat ‘tersenyum’ dengan jawaban ‘kepolosan’ Rika. Bagi kalangan muslim, jawaban itu tentunya sudah cukup dimengerti dan dikenal dengan Asmaul Husna. Disinilah mungkin juga akan terjadi multitafsir dan kontroversi tanggapan dari berbagai kalangan. Dan tentunya sutradara dan penulis skenario bukan berarti tidak memperhitungkan sebelumnya.
Tokoh sentral dalam film ini sesungguhnya adalah Soleh, seorang lelaki pengangguran yang hidup dalam impiannya untuk menjadi seseorang yang berarti, termasuk menjadi pahlawan bagi istri dan kedua anaknya, namun belum mendapatkan jalan yang baik. Soleh akhirnya menjadi anggota banser NU. Pemilihan tokoh sentral yang diceritakan sebagai anggota Banser NU, dan sempet menuai protes dari Banser NU Cabang Kota Surabaya tampaknya bisa dikatakan cukup berlebihan. Dengan alasan, tanpa izin dan mendiskreditkan Banser dengan tokoh yang dangkal pengetahuannya. Jika ditangkap pesan sesungguhnya bukanlah demikian. Tokoh Soleh tersebut tetaplah seorang manusia biasa. Jika ada tokoh Banser terlihat ‘arogan’ dengan mengecam karakter tokoh Soleh kiranya perlu melihat film ini secara utuh. Tidak mengedepankan ‘ego’ yang terkesan memaksa pencitraan dari tokoh seorang Banser. Toh pada akhirnya sang tokoh utama ini diceritakan ‘mati syahid’ ketika berhasil membawa bom dari dalam gereja ketika menjaga sebuah gereja dalam malam perayaan natal. Walau sperti dibuat-buat, cerita ini diambil dari kejadian sebenarnya yang belum lama terjadi. Seoerang Banser gugur ketika bom meledak dalam sebuah usaha pemboman jemaat gereja di satu daerah.
Dalam konfilik rumah tangga Soleh dengan Menuk (Revalina S. Temat), sebagai tokoh utama dalam film ini, menurut saya kalah menarik atau paling tidak menjadi seimbang dengan peran dari Rika dan Surya. Kehadiran konflik dan harmonisnya pertemanan mereka justru malah menghibur dan juga bisa menyeret perasaan penonton. Ketika Surya, memainkan seorang tokoh idola Santa Claus untuk menghibur anak yang sedang dirawat di rumah sakit, ada adegan yang menggelikan. Ketika Surya diminta bantuannya, ia menjawab “Insya Allah” Padahal saat itu sudah berpakaian sebagai Santa Claus.
Kisah konflik yang dimunculkan lainnya adalah gesekan-gesekan yang terjadi di dalam keluarga Tan Kat Sun (Hengky Sulaeman), istrinya Lim Giok Lie (Edmay) dan putra tunggalnya Ping Hen alias Hendra (Rio Dewanto). Mereka sebagai keluarga pemilik dan pengelola restoran yang menyajikan Chinese Food namun tetap berusaha menjaga kehalalan makanannya dengan memisahkan peralatan masaknya. Konflik intern keluarga terjadi ketika si putra tunggalnya menerapkan peraturan secara paksa tentang peraturan kerja di restorannya. Semua yang telah dirintis oleh papinya dirubah total dengan cara pandang anak muda yang ambisius dalam menjalankan bisnis tanpa memperhatikan tepo seliro bagi karyawan dan masyarkat sekitarnya. Digambarkan bagaimana saat keputusan yang diambil Hendra, membuka restoran dengan melepas tirai-tirai disaat bulan ramadhan berdampak negatif pada masalah sosio kultural. Toleransi beragama yang telah dipupuk dan dipelihara orangtuanya pupus seketika akibat kurang bijaknya Hendra mengelola usaha keluarganya itu. Namun dalam perjalanan yang disingkat itu, akhirnya Hendra banyak mendapatkan hikmah dan hidayah. Dan film ini ditutup dengan masuknya Hendra menjadi seorang muslim dengan mengucap dua kalimah syahadat. Disinipun, banyak pihak yang tentunya merasa kurang nyaman atas pilihan ending skenarionya. Bila dikaitkan dengan awal cerita tentang murtad-nya seorang Rika, kesan yang disodorkan justru sekedar penyeimbang saja. Atau untuk menutupi ‘lubang’ cerita agar tidak terjadi kontroversi yang lebih tajam nantinya.
Terus terang, cerita film ini sebenarnya tidak terlalu berat. Tidak perlu mengernyitkan dahi dalam mengikuti alurnya. Tetapi bisa diprediksi bahwa akan banyak menuai pro dan kontra kiranya tak bisa terhindari. Dari aspek penilaian film lainnya seperti teknik pencahayaan, karakter penokohan, artistik, alur cerita, saya tidak terlalu tertarik mengomentarinya. Singkatnya bisa dikatakan cukup apik dalam visualisasinya. Musikalisasinya juga cukup indah bila dinikmati dengan jalan ceritanya. Sebuah lagu ‘Kesaksian’ dari Kantata Takwa sangat pas ketika dijadikan pengiring adegan drama penyaliban yesus yang diperankan oleh Surya, yang notabene seorang muslim di perayaan Paskah.
Plurisme dan toleransi beragama memang sangat ditonjolkan dalam tema film [?] ini. Jika ada pihak yang menilai bahwa di film ini terdapat pencampuradukkan realita dari banyaknya fakta yang terjadi dalam keseharian, kita pun tidak bisa mendebatnya. Sebab penilaian tentang sebuah karya seni sangat didominasi oleh latar belakang dan kekuatan pemahaman nilai-nilai dari setiap orang, yang pastinya juga sulit diseragamkan. Bukankah perbedaan, baik yang terjadi dalam film [?] dan penilaian ini juga bisa katakan sebuahrahmat? Terlalu jauh rasanya jika sampai menilai dengan menyaksikan film [?] bisa merubah keimanan dan keyakinan seseorang. Sejatinya keimanan dan keyakinan yang hakiki itu adalah dengan menyikapi segala sesuatu secara arif dan bijak, termasuk menyikapi sebuah film. Kejernihan hati akan menjadi cermin bagi jiwa yang bisa ikhlas menerima perbedaan.
Terakhir, menanggapi kalimat yang dicantumkan dalam Poster Film ini, “Masih pentingkah kita berbeda?” Kiranya saya cukup menjawab dengan tegas : Lakum diinukum wa liyadiin.“Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS 109: 6)